Tanggung
Jawab Ade
oleh Gusti
Noor
Sebenarnya Ade tahu dan mengerti, setiap
hari Kak Nina selalu membantu Ibu menyiapkan makanan untuk dijual. Mengantarkan
ke warung-warung dengan mengendarai
sepeda sebelum pergi ke sekolah. Ade juga tahu, Kak Nina sering terlambat tiba
di sekolah karenanya. Tetapi anehnya Kak Nina tidak pernah tertinggal
pelajarannya. Kak Nina di rumah selalu mengulang pelajaran yang diberikan di
sekolah. Dan rasa-rasanya, Kak Nina adalah orang yang paling baik di rumah ini.
Dan Ade tidak pernah merasa iri bila Kak Nina dibelikan sesuatu sedang dia
sendiri tidak.
Tetapi sekarang ini, pagi hari ini, Ade
bersungut-sungut. Kak Nina sakit, berarti tidak berangkat ke sekolah dan tidak
ada yang mengantar dagangan ke warung-warung. Ibu sudah lama tidak bisa pergi
ke mana-mana karena mudah sakit kepala. Satu-satunya
yang bisa
diharapkan adalah Ade.
"Apa Ade tidak ingin membantu ibu?
Sekali ini saja, selagi Kakakmu sakit, De...," Ibu berkata dengan penuh
harap.
sekolah2
"Ade hari ini ada ulangan, Bu.
Harus berangkat lebih awal... Semalam tidak sempat banyak belajar...,"
jawab Ade sambil menyiapkan buku-bukunya. Wajahnya tampak cemberut. Ibu menarik
nafas panjang mendengar alasan yang diberikan Ade. Kalau sudah demikian, mau
apa lagi?
"Biarlah saya sendiri saja, Bu.
Rasanya kepala saya sudah tidak pening lagi," seru Kak Nina dari dalam
kamar. Mendengar suara Kak Nina, Ibu lalu meninggalkan Ade yang masih berwajah
cemberut.
"Betul kau sudah sehat, Nina? Ibu
khawatir nanti malam tambah sakitmu," kata Ibu. Kak Nina bangkit perlahan
dari tempat tidurnya lalu pergi ke kamar mandi. Ibu hanya mengawasi dari
belakang sambil menggendong adiknya yang masih bayi.
"Kenapa tidak kau bilang dari tadi
kalau badanmu tidak sehat, Nin? Kalau saja kau bilang selagi Bapak belum
berangkat, pasti Bapakmu yang mengantarkan kue-kue dagangan kita ini...,"
bisik Ibu.
"Baru terasa setelah saya mandi
tadi Bu... Mulanya tak terasa apa-apa. Mungkin juga sebentar saja sembuh,
Bu," jawab Nina sambil terus berpakaian.
Ade berangkat tergesa-gesa. Ada ulangan,
begitu alasan yang disampaikannya untuk menolak tugas yang biasa dilakukan Kak Nina. Padahal ia tidak
langsung menuju ke sekolah, karena di sekolah pada waktu sepagi itu masih sepi.
Bahkan mungkin gerbangnya belum dibuka. Dan sebenarnya pula tidak ada ulangan.
Ade sengaja menolak tugas itu karena malu. Ia tidak mau teman-temannya
melihatnya naik sepeda sambil membawa keranjang kue-kue. Ia tidak mau
dikata-katai teman-teman seperti yang dialami Alip yang mengantarkan koran tiap
pagi itu.
Hari masih pagi benar. Ade tidak tahu
akan kemana tujuannya pada pagi itu. Apakah akan mampir ke rumah Tina? Atau
Ninuk? Ah lebih baik ke rumah Yova saja. Biasanya anak itu sudah siap pada pagi
sekali. Aku bisa meluangkan waktu menunggu siang di rumahnya, pikir Ade.
Tiba di rumah Yova, Ade ternyata harus
menunggu lama sekali. Yova masih berjalan-jalan bersama adiknya yang masih
kecil. Mama Yova sedang menata meja makan untuk sarapan Papanya. Kakak Yova
sedang mengepel lantai. Papa Yova sedang mencuci mobil. Bik Icih sedang
membantu mempersiapkan makanan di dapur. Dan Ade merasa jengah menunggu di
teras.
"Tunggu sebentar, De. Yova Cuma
mengajak jalan-jalan Vina menghirup embun pagi. Tak lama lagi dia pasti
kembali. Dia juga sudah siap akan berangkat...," kata Papa Yova mencoba
menentramkan kegundahan Ade yang sedang menunggu itu.
Tetapi yang dikatakan oleh Papa Yova itu
ternyata lama sekali bagi Ade. Jam dinding di rumah Yova menunjukkan pukul enam
lebih sepuluh menit. Jarumnya bergerak perlahan. Ade semakin merasa tidak enak
duduk di kursi teras. Tak lama kemudian Bik Icih mengantar secangkir teh manis
dengan ubi goreng.
"Silakan diminum, Neng Ade,"
Bik Icih menawarkan.
"Saya mau berangkat dulu,
Bik," jawabnya kepada Bik Icih. Lalu kepada Papa Yova dia pamitan sambil
bergegas pergi, "Terima kasih... Om, saya mau berangkat saja dulu. Mau
mampir ke rumah Ninuk, Om..." la tiba-tiba gugup. Papa Yova keheranan,
demikian pula Bik Icih. Mereka heran melihat Ade tiba-tiba pergi dan melangkah
lebar-lebar meninggalkan rumah itu.
Semua orang sibuk, semuanya bekerja.
Semuanya, tanpa kecuali. Kak Nina juga. Padahal Kak Nina sedang sakit. Karena
tanggung jawabnya sebagai anak tertua dan juga karena rasa sayangnya kepada
keluarga, Kak Nina berpayah-payah pergi mengantar kue. Padahal Kak Nina sakit.
Bagaimana kalau sakitnya bertambah parah? Bagaimana kalau Kak Nina jatuh dari
sepeda karena kepalanya pening? Bagaimana kalau sampai... ah. Ade
seperti
ingin menangis selama perjalanan menujuh ke sekolah. Hatinya begitu gundah. Ia
tak jadi ke rumah Ninuk. Sekolah masih sepi, baru beberapa anak saja yang
datang.
Selama pelajaran berlangsung Ade tidak
bisa memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Beberapa kali ditegur Pak Adi
karena melamun. Ia ingin segera pulang. Ingin segera menjenguk Kak Nina. Mungkin
Kak Nina tambah parah sakitnya, mungkin Kak Nina jatuh dari sepeda karena
kepalanya pening lalu ada kendaraan yang menabraknya Hap.. .
"Kau sakit, Ade?" tiba-tiba
terdengar teguran Pak Adi. Ade gelagapan. Rupanya tadi la melamun selama Pak
Adi menerangkan. Pak Adi lalu menghampirinya. Meraba keningnya. Ade jadi
terharu.
"Kepalamu hangat. Pulang saja, ya.
Nanti bertambah parah..." kata Pak Adi. Ade menurut. Ia bergegas
meninggalkan sekolah. Ade berjalan dengan setengah berlari. Agar secepat mungkin
bisa tiba dirumah melihat Kak Nina.
Dengan tergopoh-gopoh ia memasuki rumah.
Ibu sampai keheranan melihat sikapnya. Langsung menuju ke kamar Kak Nina. Dan
Kak Nina terbaring di pembaringannya.
Ade seperti ingin menubruk kakaknya yang
sedang terbaring itu. Kak Nina jadi terheran-heran dibuatnya.
"Ada apa, De? Kenapa kau tiba-tiba
begini?" tanya Kak Nina.
"Maafkan aku, kak. Sebenarnya aku
tidak ada ulangan... Aku cuma malu mengantarkan kue-kue itu " Ade langsung
saja menangis. Suaranya jadi tidak jelas terdengar.
"Sudahlah, jangan menangis. Yang
penting kau sudah menyadari kesalahanmu dan tak akan mengulanginya lagi. Untuk
kali ini tak apa-apa. Kakak memaafkanmu, De," Lembut suara Kak Nina.
Menyejukkan hati Ade. Mengobati rasa sesalnya agar tidak berkepanjangan.
Dan keesokan harinya, Kak Nina masih
sakit. Ade benar-benar melaksanakan apa yang dijanjikanya kepada kakaknya.
Tanpa ragu lagi Ade menjinjing keranjang kue-kue. Dengan sepeda jengki ia
berkeliling mengantar kue-kue itu ke warung-warung. Tak ada yang mengejek, tak
ada yang menggoda, tak ada rasa malu. Yang ada adalah rasa tanggung jawab yang
besar. ***
Sumber :
Majalah Bobo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar